Cerita ini berlangsung ketika kami, Ngarid Family, masih duduk di bangku SMA.
Langit berselimut awan cukup tebal ketika kami berenam berkumpul di rumahku, Widi. Ya, saat itu kami semua memang berkumpul dan berencana melakukan pendakian ke gunung Ungaran. Mereka semua, Ndaru, Abed, Trias, Escha dan Joz tampak bersemangat dengan ransel yang terisi penuh di punggung mereka masing-masing. Ini merupakan percobaan pendakian kedua kami di gunung Ungaran setelah sebelumnya kami gagal dalam pendakian pertama karena kami salah jalan. Tetapi kami tidak tersesat karena akhirnya juga kami bisa sampai puncak, walaupun itu bukan puncak utama Gunung Ungaran. Oleh sebab itulah kami ingin menakluklan Gunung Ungaran untuk kali kedua.
Awal keberangkatan,
Setelah naik angkot kurang lebih setengah jam dari Bedono kita sampai di titik keberangkaan pendakian, Ambarawa. Dari sinilah perjuangan besar dimulai.
Kurang lebih satu jam kami berjalan menyusuri jalan beraspal, langit sudah mulai tak bersahabat. Rintik hujan mulai terasa membasahi kulit dan kepala kami. Dengan segera kami membuka tas kami masing masing, mengambil jas hujan yang sudah kami persiapkan sebelumnya, dan buru-buru memakainya. Hawa dingin akibat hujan mulai menembus kulit. Untunglah disaat kami memutuskan untuk mengistirahatkan kaki sejenak, muncul sosok penyelamat bagi kami yang sedang menggigil kedinginan. Sosok itu tak lain adalah penjual bakso. Tanpa berpikir panjang kamipun mendekati penjual bakso itu, dan dengan bermodal uang Rp. 3.000,00 saja per anak, sudah cukup untuk mengusir hawa dingin di tubuh kami.
Perjalanan dilanjutkan.
Langit tak lagi meneteskan air. Entah sudah berapa kilometer kaki-kaki kami ini berjalan. Rasa pegal dibagian betis bawah pun semakin sering kami rasakan. Dan untuk kesekian kalinya kami merebahkan diri dijalan untuk mengurangi penat. Kami beristirahat di jalan berpaving yang sudah tak jauh dari pintu masuk bagi para pendaki gunung.
Di pos pertama,
Bekal minuman dan snack beberapa sudah masuk ke perut. Langit sudah gelap. Berbaring sejenak di bangku panjang terasa sangat nyaman.
Di pos kedua,
Keringat mulai membasahi seluruh tubuh. Rute yang kami lalui tak lagi berupa aspal, melainkan tanah yang kian terasa lembab. Duduk di pos peristirahaan adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan, mengingat kami juga harus memeriksa apakah di kaki kami eda lintah yang menempel atau tidak. Maklum, tanah yang lembab adalah habitat yang cocok untuk lintah.
Kami melanjutkan perjalanan dengan ditemani kabut putih tebal yang semakin memperpendek jarak pandang kami. Cahaya senter yang seolah seperti pedang laser pun akhirnya jadi mainan kami.
Semakin mendekati puncak, jalan yang harus kami tempuh semakin ekstrim. Kami harus menaklukkan tebing curam, batu-batu besar di rute pendakian, dan udara yang semakin dingin. Kami semakin berhati-hati dalam memijakkan kaki di bebatuan. Terpeleset sedikit saja akan berakibat fatal melihat tingkat kemiringan rute pendakian yang harus ditempuh.
Sekitar jam sebelas malam kamipun memutuskan untuk beristirahat agak panjang karena dinginnya angin gunung yang sudah semakin sulit ditahan. Matrass dan alas tidur segera dibentangkan di tanah sempit. Saling berhimpitan adalah langkah tepat untuk menghangatkan tubuh. Dengan berbekal paravin, kami pun segera membuat api unggun.Mie instan dan kopi hangat akhirnya bisa mengembalikan kehangatan di tubuh kami.
Beberapa waktu kemudian,
Langit jingga mulai terlihat di ufuk timur. Sedikit demi sedikit sinar sang surya terasa semakin hangat di permukaan kulit. Pemandangan kota dan hamparan sawah hijau mulai nampak jelas. Angin gunung menyambut memberikan kesegaran.
Belum sampai puncak.
Itulah yang ada dipikiran kami semua saat itu. Tanpa mengemas barang, kami segera melanjutkan perjalanan, terus menatap keatas seolah olah kami melihat puncak Gunung Ungaran yang melambai-lambai pada kami agar kami segera mencapainya.
Itulah yang ada dipikiran kami semua saat itu. Tanpa mengemas barang, kami segera melanjutkan perjalanan, terus menatap keatas seolah olah kami melihat puncak Gunung Ungaran yang melambai-lambai pada kami agar kami segera mencapainya.
Setibanya di tujuan akhir,
Teriakan-teriakan keberhasilan satu per satu memenuhi puncak gunung. Ya, untuk kali pertama kami berhasil menginjakkan kaki di Puncak Gunung Ungaran. Kegiatan dilanjutkan dengan mengabadikan momen indah ini dan menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya.
Kami menghabiskan waktu berjam-jam diatas sana. hingga kami lupa bahwa hari semakin siang dan kami harus segera beranjak turun dari gunung. Di perjalanan menuruni gunung pun ada berbagai hal menarik yang dapat kita jumpai. Hamparan luas kebun teh juga turut menambah sejuk pemandangan dimata kami.
Tak terasa kami pun sampai di rumah kami masing-masing dengan selamat. Capek, pegal, lemas kian terasa ditubuh. Namun semua itu sepadan dengan pengalaman yang kami peroleh. Entah kapan kami bisa melakukan hal semacam itu lagi.
Sekian.
Oleh: Widi_Ngarid